Jangan Rebut Temanku

Kinanti, seorang anak SD Muhammadiyah duduk sendiri di bangku deretan depan kelas pada jam istirahat. Dia memegang buku cetak Bahasa Sunda yang terbuka di atas pahanya. Kepalanya tertunduk menghadap buku itu, tetapi halaman bukunya tidak dibolak-balik.

Di deretan belakang, hanya ada seorang anak laki-laki pendek, berambut cepak, berkacamata, berkuping caplang, dan bergigi tonggos yang sedang merapihkan meja belajarnya. Anak yang bernama Pesona itu kemudian beranjak keluar kelas, menuju lapangan.

Ketika melewati tempat duduk Kinanti, dia mendengar ada suara cegukan. Pesona membalikkan badan berupaya melihat dari mana suara itu berasal.

Akan tetapi, yang dia lihat hanya seorang Kinanti yang sedang menunduk membaca buku. Pesona ingin melihat muka Kinanti, tetapi sulit karena muka anak perempuan itu terlalu menghadap ke bawah.

Pesona merendahkan badannya, berupaya melihat muka Kinanti, tetapi sekarang pandangannya malah terhalang meja.

“Ngapain, kau?” tanya Kinanti galak walau suaranya agak bergetar di awal.

“Tidak. Aku ingin mengambil uangku yang jatuh,” jawab Pesona bohong.

Kinanti tidak membalas jawaban Pesona. Dia tetap memandang bukunya yang dari tadi tidak berganti halaman.

Pesona memiringkan kepalanya, masih berupaya melihat muka Kinanti. Akan tetapi sulit melihat wajah seseorang yang berkerudung yang sedang menunduk.

Pesona akhirnya melirik ke arah buku yang dipegang Kinanti. Buku itu basah terkena tetesan air.

Tidak ada pembicaraan antara dua murid kelas 6-I itu selama beberapa menit. Kinanti hanya duduk memandangi buku yang dipegang di pahanya, sementara Pesona berdiri dan hanya bisa memandang kepala Kinanti yang ditutup kerudung.

Akhirnya, pesona memulai pembicaraan, “Hmm… Aku mau ke lapangan. Kau tidak mau ikut main benteng?”

Tidak ada jawaban. Kinanti masih menunduk.

“Membacanya nanti saja, Kin. Kita main benteng dulu,” kata Pesona agak memaksa.

Kinanti menggeleng.

“Kalau begitu, kau ku tinggal,” kata Pesona. Dia berjalan menuju keluar, kemudian mendengar Kinanti bergumam.

“Di lapangan pasti ada dia. Aku tidak mau bertemu dengannya.”

Pesona tidak mengerti maksud kinanti. Dia terus berjalan ke luar dari kelas 6-I, kemudian berjalan menyusuri lorong menuju lapangan basket sekolah.

Teman-teman sekelas Pesona ternyata sedang aduan benteng dengan anak kelas 6-V. Hanya sepuluh anak 6-I yang mewakili kelasnya, sisanya terpencar. Sebagian ada yang duduk di pinggir lapangan menyemangati teman sekelasnya, sebagian ada yang pergi ke kantin.

Pesona menghampiri Daru dan Budi dan ikut duduk bersama mereka di pinggir lapangan. “Daru, Budi, kenapa kalian tidak bermain?” tanya Pesona.

“Aku kalah dalam hompimpa tadi, Son. Perwakilan kelasnya dipilih berdasarkan hompimpa,” kata Budi. “Kalau Daru, dia baru saja datang jadi tidak kebagian ikut hompimpa.”

“Kenapa kau baru kelihatan, Son? Dari mana kau?” tanya Daru kepada Pesona.

“Aku di kelas saja, Ru. Tadi aku penasaran melihat Kinanti sendirian di kelas. Ku ajak ke luar tapi dia tidak mau,” jawab Pesona.

“Hanya mengajak Kinanti keluar saja kenapa lama sekali, Son?” tanya Daru. Budi melirik Daru dan senyum-senyum.

“Aku penasaran kenapa dia tiba-tiba jadi diam waktu istirahat, makanya aku cari tahu. Tapi aku tidak bertanya keadaannya kepada dia. Aku hanya memperhatikannya,” kata Pesona.

“Kenapa tidak kau tanya saja, Son?” tanya Budi.

“Ah, tidak enak,” jawab Pesona. Dia mendekatkan kepalanya dengan kepala Daru dan Budi kemudian berkata dengan suara pelan, “Sepertinya Kinanti menangis,” kata Pesona.

“Wah, parah kau membuat anak perempuan menangis, Son,” kata Daru menggoda Pesona.

Pesona tidak menghiraukannya. Untung saja Budi cepat-cepat berbicara sebelum Daru menggoda Pesona lagi.

“Bukan kah biasanya dia kumpul dengan Senja, Diran, Seruni, dan Mita? Dia tidak pernah menyendiri, kan?” kata Daru.

“Makanya. Aku tidak mengerti kenapa dia sekarang sendirian,” kata Pesona.

“Pasti dia sedang dijauhi teman dekatnya, Son,” kata Daru yang sekarang kehilangan minat menggoda Pesona.

“Mungkin, dia memang sedang ingin sendiri karena ada masalah di rumahnya, bukan?” kata Pesona.

“Itu tidak mungkin,” kata Budi. “Kalau dia bermasalah dengan orang rumah, pasti kawan dekatnya, si Mita, Senja, dan Seruni menemaninya. Kalau sekarang, aku yakin dia sedang ada masalah dengan salah satu dari tiga temannya itu.”

“Begitu, ya?” jawab Pesona. Tatapannya kosong ke arah anak-anak 6-I yang sedang berteriak “BENTENG!” dengan lantang. Pesona melihat seorang anak 6-V sedang menyemangati kawan-kawan satu timnya.

Pesona berdiri dan langsung berjalan menuju kantin sambil berpamitan. “Aku ke kantin dulu, ya, Daru, Budi.” Pesona mendengar kedua temannya menyahut, “Semoga sukses,” diiringi teriakan “BENTENG!” lainnya dari lapangan.

Di kantin, Pesona melihat murid-murid SD Muhammadiyah sedang memesan makanan, sebagian duduk di dalam warung-warung, sebagian duduk di meja tengah kantin, dan sebagian duduk di undakan pinggir jalan.

Pesona melihat Senja, Seruni, dan Mita sedang antre di warung mie. Pesona berjalan menyelip diantara meja kantin dan antrean warung lain menuju warung itu mie.

Dia ikut antre di warung itu. Bau air rebusan dan bumbu mie sudah tercium dari tempatnya berdiri. Hawa lembab dan pengap warung mie terasa menambah semangatnya makan.

Setelah giliran Senja dan kawan-kawan memesan, Mita melihat Pesona.

“Kau ikut pesan dengan kami saja, Son,” kata Mita.

Tanpa bicara, Pesona menyeruak diantara antrean. Beberapa kepala menoleh kepadanya. Sesampainya di tempat Mita, Pesona memesan mie rebus rasa ayam bawang.

Seruni dan Senja menempati meja di depan warung. Mita bersama Pesona menunggu pesanannya jadi. Sambil menunggu, Pesona mengajak Mita ngobrol.

“Mita. Kenapa kau tidak beli nasi gulai? Biasanya kau beli itu, Mit,” tanya Pesona.

“Aku bosan makan itu, Son. Aku ikut Seruni dan Senja saja hari ini. Ada apa?” tanya Mita.

“Tidak apa-apa, Mit. Aku jarang lihat kau beli mie. Kalau Kinanti memang sering beli mie rebus. Oh, iya. Ngomong-ngomong, di mana Kinanti?” tanya Pesona.

Mita terlihat ketus. “Aku tidak tahu, Son. Sudahlah tidak usah bicarakan Kinanti. Dia kan bisa cari teman lain. Kan dia ranking satu, Son.”

“Oh iya dia dapat juara satu, ya?” tidak lama, pesanan datang. Pesona dan Mita membawa mie pesanan mereka ke meja Senja dan Seruni.

“Mana mie goreng pesananku?” tanya Senja.

Pesona kemudian membagikan pesanan Senja dan Seruni. Mereka mulai melahap mie, Pesona tidak biasa berbincang-bincang dengan anak perempuan, oleh karena itu dia lebih memilih diam dan mendengarkan pembicaraan tiga sekawan ini.

“Mita, kamu sudah memiliki gaya untuk menampilkan lagu Manuk Dadali di pelajaran Bahasa Sunda nanti?” tanya Seruni.

“Oh, tentu saja sudah, Ni. Aku dan Senja dua hari lalu sudah memiliki gaya untuk kami tampilkan. Semoga Bu Euis memberi nilai tambah,” jawab Mita sambil melahap mienya.

Senja ikut dalam perbincangan, melupakan kehadiran Pesona yang baru saja membawa makanannya. “Tadinya, aku ingin menghafalkan dan mencari gaya bersama Kinanti. Tapi, Mita bilang nanti gayaku bisa ditirunya dan dia mendapat nilai lebih tinggi dari ku nanti,” kata Senja.

Pesona pura-pura mengunyah mie sambil memperhatikan. Seruni membelalaki Mita, kaget.

“Yang benar kau, Mit? Masa sahabatmu seperti itu kepada teman sendiri. Tega sekali,” tanya Seruni.

Mita menjelaskan kepada teman-temannya, “Betul, Ni. Semester lalu, kami sering belajar bersama. Lebih tepatnya, aku sering memberikan catatanku kepadanya. Tetapi, dia tidak mau memberikan catatannya kepadaku. Lihat saja rankingnya! Dia bisa jadi ranking satu, sementara aku terpaksa turun ke ranking dua.”

“Oh, iya. Kinanti juga pernah mencontoh gambar gunung, sawah, dan matahariku. Dia dapat nilai sembilan, sementara aku hanya mendapat nilai tujuh,” kata Seruni.

“Betul, kan, Seruni. Guru-guru lebih membelanya dan lebih percaya dia paling pintar hanya karena dia pernah terpilih mengisi lagu kompilasi untuk presiden,” kata Senja.

“Bukan itu saja sebabnya guru memfavoritkan dia, Senja. Kinanti pernah diwawancara acara televisi dan menyebut nama sekolah kita. Ya, SD Muhammadiyah kita disebutnya terang-terangan dan tersiar ke seluruh negeri. Pasti itu juga yang membuat guru-guru jadi girang kepadanya,” kata Mita.

“Ih, Kinanti jadi tidak keren lagi. Kasihan kau semester lalu jadi tidak ranking satu lagi, Mita. Dan itu hanya karena Kinanti masuk televisi. Menyebalkan!” kata Seruni kepada Mita yang sedang cemberut.

Seruni menggenggam tangan Mita dan mulai menyemangatinya.

“Jangan sedih, Mita. Lupakan saja dia dan acara gosip televisinya itu. Tenang, Mita. Acara itu tidak pantas untukmu. Kau lebih pantas untuk acara yang lebih bergengsi. Pasti kau akan bisa tampil gemilang di acara seperti itu nantinya.”

“Terima kasih, Seruni,” jawab Mita tersenyum. Dia menggenggam balik tangan Seruni. Senja kemudian menggenggam tangan Seruni dan Mita. Mereka terdiam, tersenyum, dan saling menatap.

Pesona tersedak mie.

Tiga sahabat itu melepas genggaman mereka, dan semuanya memelototi Pesona.

“Kenapa kau?” tanya Senja

“Aku tersedak. Sepertinya aku terlalu cepat menelan mienya,” kata Pesona.

“Ah, sudah lah. Kau sudah memikirkan gaya untuk lagu Manuk Dadali belum?” tanya Seruni galak.

“Hapal lagunya pun belum. Nanti saja aku hapalkan lagunya ketika kalian maju dan menampilkannya dengan gaya-gaya kalian,” kata Pesona.

“Nanti, bagaimana kau menghapal gayanya?” tanya Mita.

“Untuk apa pakai gaya? Kita kan disuruh menghapal dan menyanyikan lagu Manuk Dadali, bukan membuat tari-tarian Manuk Dadali,” kata Pesona.

“Kalau kau sampai ranking satu atau mendapat nilai lebih tinggi dariku, awas saja kau, Son!” ancam Mita.

“Amiin, Mit. Tapi, sepertinya sulit. Dapat Ranking 36 besar dari 40 siswa saja aku sudah bersusah payah, Mit,” jawab Pesona enteng.

 

11 tahun kemudian

“Son, kau benar antar aku pulang, kan?” tanya Mita. “Angkutan umum sudah tidak ada kalau tengah malam begini, Son.”

Mita, Pesona, dan kawan-kawan SD 6-I membantu Budi membereskan rumah barunya di daerah Cipulir sejak siang. Dini hari ini, tinggal tersisa Pesona, Mita, Budi, dan Daru di rumah Budi. Kawan-kawan yg lain sudah pulang setelah selesai beres-beres, sekitar pukul 7 malam.

Budi yang tinggal sendiri sejak delapan tahun lalu. Ayah ibunya meninggal ketika Budi SMP, sementara saudara-saudara kandungnya kerja di luar negeri sejak Budi SD.

Untuk membiayai keperluan sekolah, Budi mencari beasiswa. Sementara untuk kehidupan sehari-hari, Dia berjualan ayam bakar pesan-antar.

Malam itu, Pesona dan Daru berlama-lama untuk menemani Budi, sekaligus bertukar cerita dengannya. Tiga sahabat itu sudah tidak saling bertemu sejak mereka lulus SD. Sementara itu, Mita terjebak dalam obrolan lelaki 20 tahunan yang sedang bernostalgia ini.

Sesekali, Budi, Pesona, dan Daru mengganggu Mita, “Malam minggu gini masa tidak ada angkutan, Mit? Pasti ada,” kata Pesona.

“Hei! Tadi sore kau yang menawarkan diri mengantarku pulang,” kata Mita sambil bertolak pinggang.

“Tadi aku sudah mau pulang supaya tidak kehabisan angkutan ya, Son. Kalau kau tidak mengantarku sampai rumah, awas saja kau,” ancam Mita.

Daru tertawa jahil. “Sebelas tahun sudah lewat, tapi hobimu masih mengancam Pesona, Mit. Kapan kau taubat? Ancamanmu tidak pernah ada pengaruhnya.”

Mita bersedekap. Mukanya cemberut.

“Tenang, Mit. Mana mungkin Pesona tega menelantarkan kau di rumahku. Dia pasti akan membawamu pulang. Mungkin, nanti, kalau bertemu taksi mangkal di jalan, baru kau diturunkan di situ,” lanjut Budi.

“Argh, Kalian!” Mita kesal.

Tidak lama setelah mereka puas menggoda Mita, Pesona pamit pulang. Budi dan Daru memberikan salam masing-masing.

“Mit, jangan lupa kau siapkan uang taksi, ya,” kata Budi.

“Oh, ya. Dan, hati-hati, ya, Mit. Di Jakarta banyak sopir taksi gadungan,” kata Daru.

“Hei, tidak lucu, tahu!” jawab Mita ketus.

Daru dan Budi mengantar Mita dan Pesona ke mobil minibus Pesona yang diparkir di lapangan tidak jauh dari rumah Budi.

“Daru, kau tidak pulang?” tanya Pesona sebelum masuk mobilnya.

“Tidak, Son. Aku menginap di tempat Budi,” kata Daru.

“Memangnya aku sudi menampungmu?” tanya Budi jahil.

“Ah, sial kau,” jawab Daru

“Ya sudah. Kami pamit, ya, Daru, Budi,” kata Mita.

Mita dan Pesona masuk ke dalam mobil, Daru dan Budi berjalan kembali ke rumah.

Di perjalanan Pulang, Mita banyak bercerita tentang kehidupannya sejak tidak sekelas lagi dengan Pesona, pekerjaannya sebagai arsitek junior, teman-teman masa remajanya, serta buku-buku favoritnya.

Pesona lebih banyak mendengarkan. Sesekali, dia bertanya atau memberikan respon lain supaya tidak tidur ketika mengemudikan mobil.

“Mit, sejak SD kan kau ranking satu terus, apa di SMP, SMA, dan kuliah kau tetap jadi murid teladan seperti dulu?” tanya Pesona.

“Ya, Son. Aku selalu berusaha mendapat nilai tertinggi di kelas,” jawab Mita.

“Apa di suruh orang tua mu?”

“Tidak. Orang tua ku biasa saja, Son”

“Lalu, kenapa, Mit?”

“Tidak apa, Son. Aku mau saja jadi juara kelas. Tidak butuh alasan apa-apa, kan?” jawab Mita.

“Mungkin benar. Tapi, aku yakin pasti ada alasannya walaupun terdengar sangat tidak logis. Tidak mungkin kau begitu bertekad jadi juara kelas dan belajar mati-matian hanya karena kau iseng, kan?” tanya Pesona agak memaksa.

“Aku hanya iseng saja, Son,” jawab Mita mengarang. Pesona tetap kukuh.

“Wah. Kalau begitu, pengertian iseng yang kita pahami berbeda sangat jauh. Apa alasan kau iseng seperti itu, Mit?” tanya Pesona lagi-lagi memaksa.

Mita terdiam. Pesona membiarkan Mita mencari jawabannya. Setelah beberapa menit, Mita balik bertanya.

“Son, kau percaya tidak kalau aku tidak punya teman yang memang berteman karena apa adanya, bukan karena apa yang ku miliki?” tanya Mita.

“Hah? Bagaimana, Mit?”

“Ih! Kau percaya tidak kalau orang-orang mau berteman dengan ku hanya karena mereka memanfaatkan kepintaran ku?”

“Maksudmu?”

“Sejak dulu, aku yakin orang-orang mau dekat dengan ku hanya karena ingin aku ajari pelajaran atau karean mereka ingin meminjam catatan ku, Son.”

“Tidak mungkin, Mit. Kau kan jago berteman dan supel,” bantah Pesona.

“Tidak juga, Son. Aku lebih banyak membicarakan pelajaran daripada hal lain. Teman ku waktu SD dulu, kan, masuk ranking sepuluh besar semua, Son,” kata Mita.

“Oh iya, ya. Saking rajinnya kalian, Kau, Senja, dan Seruni sampai merancang gaya untuk tes menyanyi di pelajaran Bahasa Sunda, ya?”

“Ya, seperti itulah kami, Son,” kata Mita. “Tadinya, ku pikir aku memang pandai bergaul, Son. Ternyata tidak. Bahan obrolan yang ku kuasai hanya seputar pelajaran.”

Mita terdiam sebentar, kemudian melanjutkan, “Kau ingat tidak, Son aku pernah membenci Kinanti?”

“Karena Kinanti pernah pacaran dengan Budi sewaktu SMA, ya?” Pesona balik bertanya.

“Bukan. Aku benci dia waktu kelas enam, Son. Ketika dia dapat ranking satu. Aku bahkan sampai menghasut anak-anak perempuan lain ikut membenci dia,”

“Jahat sekali kau waktu itu, Mit,” kata Pesona dengan entengnya.

“Jangan begitu, Son. Aku begitu karena takut tidak punya teman,” jawab Mita.

Pesona terdiam sebentar, kemudian bertanya, “Mit, memangnya kau pernah tidak punya teman karena tidak jadi bintang kelas?”

“Tidak tahu, Son. Aku terlalu takut mencobanya. Tidak seru, kan kalau kau sendirian di kelas ketika orang-orang yang seharusnya jadi sahabatmu sedang cekakak-cekikik di lorong kelas atau di kantin sekolah,” kata Mita.

“Seperti Kinanti waktu itu, ya?”

Mita terdiam lagi. Pesona memberhentikan mobilnya di lampu merah Pondok Pinang. Tidak lama, Mita memecah kesunyian, “Iya, Son. Rasanya pasti seperti Kinanti waktu itu. Sudahlah, Son, kau jangan begitu. Aku sudah meminta maaf kepadanya tadi.” Suara Mita bergetar mengucapkan kalimat itu.

“Wuih, asik sekali kalian sudah sahabatan lagi,” jawab Pesona sambil mengegas mobilnya. Lampu lalu-lintas sudah menyala hijau.

Mita kembali melanjutkan cerita, “Kau tahu, Son teman dekat ku ketika SMA dulu bukan anak-anak pintar, melainkan gadis-gadis cantik yang pandai bergaul.” Suaranya sudah tidak bergetar seperti tadi.

“Mereka selalu mengeritik pakaian ku. Menurut mereka, baju ku kurang modis, rok yang ku pakai terlalu kuno, dan sepatu ku sangat tidak variatif. Mereka bahkan tahu kalung, anting, atau aksesoris lain yang ku miliki bukan barang asli, Son. Mereka sampai meminjamkan pakaian, aksesoris, bahkan sepatu untuk ku, Son. Mereka mengubah penampilanku,” kata Mita bercerita.

“Bukankah bagus kau jadi lebih gaul, Mit?”

“Penampilanku yang gaul, Son. Bahan obrolan ku sama sekali tidak,” kata Mita.

Pesona ingin sekali bertanya, ‘kalau denganku, kenapa kau tidak membicarakan pelajaran, Mit?’ Akan tetapi, dia menahannya. Mita sedang bercerita.

“Aku pernah sakit hati ketika mereka mengeritik kalung pemberian mama ku karena palsu. Tapi, aku tidak berani membantah mereka, Son.

Aku ikuti semua gaya berpakaian yang mereka sarankan. Aku kenakan semua yang mereka pinjamkan walaupun aku tidak suka dan tidak nyaman, Son. Aku takut mereka tidak mau berteman dengan ku.”

“Kenapa mereka tidak mau, Mit? Kau kan sudah berjasa mengajari dan meminjamkan catatan kepada mereka, Mit,” kata Pesona berusaha tidak mengungkit-ungkit Kinanti lagi.

“Karena aku aneh, Son. Aku tidak seperti gadis-gadis di SMA ku yang pandai bersolek dan bergaul. Aku juga bukan penyair atau wartawan sekolah seperti kau, Son.

“Waktu itu, aku hanya gadis SMA dengan nilai pelajaran yang bagus,” kata Mita. Dia melihat lekat-lekat Pesona yang sedang menyetir.

“Gadis SMA dengan nilai paling bagus maksudmu, Mit,” kata Pesona menghibur.

“Ya, Son. Tapi hanya itu.” kata Mita menegaskan.

Pesona memberhentikan mobilnya di lampu merah Pasar Jumat. Kemudian, dia bertanya, “Apakah ketika kuliah kau masih berpikiran seperti itu?”

“Awalnya iya, Son. Aku mati-matian mengejar IPK untuk bisa cumlaude atau paling tidak aku mendapat nilai paling tinggi diantara teman seangkatan ku. Akan tetapi, sulit sekali, Son,” kata Mita.

“Kenapa sulit, Mit?” tanya Pesona. Sebenarnya, dia sudah menduga jawabannya.

“Kau tahu lah, Son. Arsitektur UI merupakan jurusan favorit, jadi yang diterima di sana tentu bintang-bintang kelas semua,” jawab Mita. “Aku sulit sekali menyaingi kawan-kawanku. Banyak yang terlihat biasa saja, tetapi ternyata dia jenius dan nilainya tinggi sekali,”

“Pasti kau kesal dibuatnya, Mit,” kata Pesona menanggapi.

“Iya, Son. Aku sempat depresi beberapa bulan. Aku sampai berpikir untuk apa aku kuliah kalau begitu jadinya, Son,” kata Mita dramatis.

“Kau jadi seperti kehilangan pegangan, ya?”

“Iya, Son.”

“Lalu, selanjutnya kau bagaimana?”

“Selanjutnya, aku minta maaf kepada papa dan mama ku karena tidak bisa jadi bintang kelas seperti dulu. Untung mereka tidak mempermasalahkannya.”

“Memang berapa rata-rata IP dan IPK mu, Mit?”

“3,85 dari 4,0, Son.”

“Rata-rata IP-IPK kau itu besar sekali, Mit. Kau masih tidak puas juga? Gila kau.”

“Kenapa gila? Itu kecil dibanding IP teman-teman ku, Son. Memang rata-rata IP dan IPK mu berapa?”

“3,57, Mit,” kata Pesona. “Bukan yang paling tinggi di jurusanku, Mit. Sudah jelas.”

“Itu besar untuk ukuran jurusan Ilmu Sejarah yang tidak memiliki aturan dan hitungan-hitungan eksakta seperti jurusanku, Son.” kata Mita.

“Terima kasih, mit,” kata Pesona. “Setelah kau bilang pada orang tua mu, selanjutnya apa?”

“Selanjutnya aku kuliah seperti biasa walaupun hampa rasanya, Son. Karena itu, aku ingin cepat-cepat lulus dan bekerja saja, Son.”

“Dan kau berhasil, kan? Kau lulus dalam waktu 3,5 tahun, kan?”

“Ya, Son. Lalu aku masuk dalam firma arsitektur sebagai arsitek junior. Sudah hampir 2,5 tahun rasanya aku bekerja di sana.”

Pesona berusaha mengganti topik pembicaraan, “Kau tidak berniat membuka firma arsitektur sendiri, Mit?”

“Ingin rasanya. Setelah mendapat sertifikat dari Ikatan Arsitektur Indonesia dan pengakuan internasional, aku akan membuka firmaku sendiri, Son.”

“Bagus itu, Mit. Aku yakin cepat kalau kau yang bilang,” kata Pesona.

“Sepertinya lama, Son. Sainganku berat. hehe,” kata Mita.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan rumah Mita di Pamulang Estate. Setelah memastikan barang-barang Mita tidak ada yang tertinggal di dalam mobil, Pesona segera pulang.

Kumpul-kumpul nostalgia 6-I di rumah budi berlanjut ke media sosial. Pesona, Mita, Senja, Seruni, Daru, Budi, Kinanti, juga teman-teman kelas 6-I tetap bercanda, curhat, dan merencanakan lari pagi.

Dua minggu kemudian, Pesona melihat berita di internet bahwa Paramitha Varma Fillia, yang biasa Pesona panggil Mita, masuk dalam daftar sepuluh besar “Best Artistic Architect” di dunia dengan karyanya yang berjudul “Cat In the Hood.”

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.